Sabtu, 29 Desember 2007

NOVEL

Prolog

Satu-persatu kehidupan itu datang menghampiriku

Membawa diriku ke dalam jurang kebebasan yang mendalam

Tanpa tahu apa yang akan terjadi pada jalan yang paling ujung

Rasa sepi itu menghantui diriku lagi. Aku tidak pernah mengerti apa yang terjadi di dalam hidupku saat ini. Namun, satu yang pasti masa itu tidak akan pernah kembali lagi ke dalam hidupku. Padahal, aku ingin sekali masa itu kembali lagi.

“Rana! Ayo, kita sarapan! Hari sudah mulai siang. Nanti kamu terlambat datang ke sekolah!” suara mama menyadarkanku dari lamunan kecilku yang sering aku lakukan saat aku akan berangkat sekolah.

“Iya, Ma! Rana sudah selesai kok!” ujarku sambil keluar dari kamar menuju ruang makan yang ada di sebelah kamarku.

Di sana sudah ada mama, papa, dan juga kakak. Mereka semua tampak bahagia sekali. Tidak seperti aku, yang selalu dirundung rasa sedih.

“Hei, adikku yang manis ini kenapa sedih begitu sih? Hari ini kan pertama kali kamu masuk SMA! Harusnya kamu senyum dong mengahadapi hari barumu yang akan segera datang!” ujar Harish, kakakku. Aku hanya tersenyum kecut mendengar ucapan Kak Harish.

Dengan segera memakan makanan yang sudah mama sediakan untuk kami semua. Sebenarnya, aku ingin sekali berlama-lama di rumah, agar aku tidak perlu pergi sekolah untuk menghadapi persiapan MOS. Tapi... apa boleh buat? Aku kan seorang pelajar, dan seorang pelajar itu harus pergi sekolah untuk mencari ilmu di sekolah. Yah... namanya juga pelajar!

Di dalam hati aku berdoa agar saat aku sampai sekolah, takkan ada orang yang mengganggu hidupku lagi. Tapi, jika ada orang yang masuk ke dalam hidupku.. apa yang harus aku lakukan?

“Rana! Kamu ngapain aja? Makanannya kok gak dihabisin? Udah jam setengah tujuh. Nanti kamu terlambat!” ujar papa mengagetkanku dari (lagi-lagi) lamunanku.

“Kamu itu kebiasaan ya, Rana! Gak pagi, gak siang, gak malam, kamu itu pasti ngelamun! Emangnya mikirin apa aja sih? Kok betah banget sama yang namanya ngelamun? Jangan-jangan kamu lagi ngelamunin pacar kamu lagi!” ujar kak Harish.

“Aku gak lagi mikirin pacar aku kok, Kak! Aku cuma lagi ngebayangin gimana rasanya jadi anak SMA. Itu aja,” ujarku menutupi kenyataan yang ada. Kulayangkan pandanganku ke jam tangan kesayanganku. Jam 6.35, “Aduh.... aku bisa terlambat nih kalau gini caranya! Ma, aku berangkat dulu ya! Kalau aku terlambat, pasti calon kakak kelasku itu bakalan nyemprot aku layaknya obat nyamuk membunuh nyamuk yang ada. Dagh, mama! Dagh, papa! Dagh, Kak Harish! Aku berangkat!” pamitku meninggalkan mama, papa, dan Kak Harish dan juga makananku yang belum sempat aku sentuh sama sekali.

“Rana! Makanannya kok ...”

“Sepulang sekolah akan kuhabiskan!” jawabku atas pertanyaan mama yang belum diselesaikan.

* * *



Anak (baru) SMA

“Yihaa.... hari ini aku akan jadi anak SMA! Yeah! Akhirnya.... penantianku selama menunggu waktu ini pun tiba hari ini! Yeah! Yes! Yes! Jadi anak SMA... anak SMA... anak SMA....” aku bernyanyi tidak keruan di kamar saat aku berganti baju.

“Woy! Sadar dong, Kak Lintang! Kakak tuh belum sepenuhnya jadi anak SMA! Ikutan MOS aja baru mau! Udah ngaku-ngaku jadi anak SMA! Pamali tau ngaku-ngaku yang belum saatnya!” teriak Tanu, adikku, dari luar. Aku menghiraukan perkataannya.

Tapi... kayaknya dia benar deh! Aku kan emang belum ‘resmi’ jadi anak SMA. Aku baru mau ikutan MOS. Itu juga belum dimulai. Hari ini saja masih persiapan MOS! Yah... aku harus merelakan baju (baru) SMA-ku disimpan rapat-rapat di dalam lemari sebelum waktunya tiba.

Aku bersiul-siul riang keluar dari kamar. Entah mengapa hari ini aku gembira sekali. Padahal, hari ini belum hari pertama aku menjadi anak SMA seutuhnya. Tapi... kenapa ya? Ah... udah ah! Gak usah dipikirin! Aku kan emang anaknya periang. Hehe...

“Lintang? Ngapain kamu senyum-senyum kayak gitu? Kayak orang gila aja! Nah... ya! Jangan-jangan kamu emang udah gila! Aduh... ayah gak mau ya punya anak gila ah!” ujar ayah tiba-tiba yang membuat bibirku maju lima senti.

“Ayah kok tega banget sih ngatain aku ‘gila’? Aku kan belum gila.... aku cuma gak waras! Hehe...” balasku. Ayah tersenyum dan mengacak-acak rambutku yang sudah kusisir rapi, “Ya.. ayah! Aku udah capek-capek nyisir, eh.. malah diberantakin lagi!”

“Eh, maaf deh, Sayang... nanti ayah rapikan lagi rambutmu,” ujar ayah sambil mencium dahiku. “Kalau saja kamu masih hidup, Rena... kamu pasti bahagia melihat anak kita, Lintang dan Tanu, saat ini sudah besar!” gumam ayah. Aku dapat mendengarnya dengan jelas, karena memang ayah ada di dekatku.

“Ayah! Kita gak usah hidup di masa lalu deh! Aku gak suka ayah suka ngungkit-ngungkit masa lalu yang gak bakalan mungkin terulang lagi! Mending kita jalani hidup ini apa adanya. Menatap ke depan, ke hari esok, itu lebih baik. Daripade selalu mengenang masa lalu yang gak akan kembali lagi. Aku gak seneng kalau ayah ingat bunda, terus ayah jadi nangis...”

“Hei, Lintang! Ayah tidak mengenang masa lalu yang memang tidak akan kembali lagi di masa sekarang. I just remembering your mom. May not I remembering about that?

“Aku gak ngelarang ayah ingat sama bunda. But.. please.. don’t remembering about that when I will go to school. I must be cry then, like now...” ujarku sambil terisak. Aku jadi teringat pada bunda.

Dengan segera ayah memelukku dengan hangat. Tanu juga ikut-ikutan memelukku. Eitss.. salah! Tanu memeluk ayah, bukan aku.

“I promise, I won’t do it again in the future like your hope. Okay? And now, please don’t cry! You will be late if you crying now! Kamu ingat kan kamu belum jadi anak SMA ‘seutuhnya’?” ujar ayah sambil tersenyum. Aku terkekeh geli mengingat hal itu.

Dengan segera aku mengambil piring dan makanan yang akan aku makan pagi ini sebelum berangkat sekolah. Aku suka sekali dengan masakannya Mbak Wini. Enak sekali makanan yang terlahir dari tangannya. Walaupun umurnya sudah ada di kepala empat, beliau masih tetap bugar. Dan juga masih tetap semangat bila aku minta dibuatkan makanan yang enak dari tangannya.

Tidak sampai lima belas menit aku memakan sarapanku kali ini. Aku langsung berangkat sekolah setelah sarapanku habis tak bersisa. Kuingat-ingat lagi apa yang telah terjadi waktu sebelum sarapan tadi dan aku menganalisisnya sambil memakai sepatu. Sete;ah itu aku berangkat sekolah dengan mantap tanpa ingin menengok ke belakang lagi. Hari ini aku sudah siap menghadapi hariku yang akan kulalui dengan senyuman.

* * *


Ini adalah sebuah cuplikan cerita yang lagi gwe buat. Menurut kalian, cerita ini cocok and pantes gak sih kalo gwe bikin lanjutannya jadi sebuah novel? I need your opinion, guys! Please!!!! Thanks before.



Deg-degan, Bingung, Khawatir. Semuanya terkumpul jadi satu!

Hwaa.... akhirnya cita-cita gwe bikin blog tercapai juga hari ini. Hahaha.... setelah beberapa jam berkutat di depan komputer... wha... gak percaya blog ini udah selesai gwe buat.

Yah... hari ini adalah hari terpenting bagi gwe selama gwe duduk di kursi SMA. Hari ini tuh pembagian raport. dan gwe khawatir banged kalo ntar waktu gwe liat nilai yang gwe dapet gak memuaskan hati gwe sebagai seorang pelajar yang berharap akan mendapat nilai bagus. Tapi... masalah terpenting bukan di diri gwe. Gwe takuuuuttt banged kalo ternyata nilai yang udah gwe dapet ternyata mengecewakan hati kedua orangtua gwe. Hiks... gwe pasti bakalan stress mikirin ini semua!!! Hwa... pengen teriak! AAAAAAAAAAAAA.........

Ya ampun... gwe gak tau hal apa lagi yang harus gwe tulis disini. Tapi... yang pasti gwe lagi bingung berat nih! selain mikirin tentang nilai, gwe juga lagi mikirin gimana keadaan sobat gwe yang baru aja diputusin pacarnya. Gwe gak tau apa sebab mereka putus. Tapi satu yang pasti, 'intensitas waktu' mereka yang gwe tau cuma dikit banged buat ketemuan. (eh, berarti gwe tau dong masalahnya??) ah.. ga tau ah! Gwe bingung!