
Judul : Bilangan Fu
Tebal : x + 537 hlm ; 135 x 20 cm
Pengarang : Ayu Utami
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun terbit : 2008
Harga : Rp 60.000,00
Sebuah novel tentang kritik tiga dimensi telah ditulis oleh Ayu Utami, seorang penulis yang sejak sepuluh tahun yang lalu memberikan warna baru dalam dunia sastra Indonesia. Dalam novelnya yang berjudul ‘Bilangan Fu’, Ayu Utami menampilkan seorang pemuda pemanjat tebing terinspirasi oleh sebuah pemikiran dari seorang pemuda berjari dua belas, serta seorang gadis bertubuh kuda teji dan berjiwa matahari juga melengkapi cerita dalam novel ini.
Sebutlah Yuda–sang pemanjat tebing itu, dan Parang Jati–sang pemuda berjari dua belas. Keduanya sering berbeda pendapat, walau pada akhirnya salah satu dari mereka harus mengakui kemenangan dan keunggulan dari yang lainnya.
Marja–¬¬seorang gadis bertubuh teji dan berjiwa matahari melengkapi cerita novel ini dengan bumbu cinta yang menimbulkan adanya cinta segitiga lembut di antara ketiganya. Cinta yang membuat orang yang membaca novel ini menjadi tersenyum, tertawa, menangis, dan terharu.
Novel yang ditulis oleh Ayu Utami ini memiliki konflik tentang ketegangan antara pemikiran modern, agama fundamentalis, dan kearifan lokal (saya simpulkan sebagai cerita 3 dimensi). Selain itu, novel yang bertemakan tentang kritik tiga dimensi ini, tentunya juga memiliki konflik tentang cinta di antara tokoh yang ada di dalamnya untuk membuat cerita di dalam novel ini menjadi lengkap.
Tidak hanya sekadar menemukan cerita cinta klasik, ketegangan konflik, dan perbedaan pendapat. Namun kita juga akan menemukan berbagai sejarah, mitos, dan legenda, seperti Babad Tanah Jawi, Nyi Roro Kidul, dan Sangkuriang yang disisipkan secara ‘halus’ oleh sang penulis, Ayu Utami. Novel ini juga memberi pengetahuan kepada kita tentang pandangan sang penulis tentang spiritualisme kritis, yang mencampuradukkan pada orientasi bumi dan orientasi langit.
“Karena orientasinya langit, maka manusia menjadi lupa berterimakasih pada Bumi. Bumi tidak dianggap sehingga tidak heran kalau manusia jadi tidak peduli pada kelestarian alam,” ujar Ayu Utami dalam bedah buku di Kampung Seni Lerep, Ungaran, Jumat (29/8) lalu.
Dari penuturannya tersebut, tersirat fakta mengenai sikap protes sang penulis tentang kerusakan-kerusakan yang terjadi dibumi ini yang tidak lain disebabkan oleh manusia sendiri yang terdapat dalam novel ini. Novel yang dapat membuat kita berpikir kritis, namun juga dapat mempengaruhi pikiran kita tentang sikap protes sang penulis. Pikiran yang dapat menggoyahkan pendirian kita, bila ‘penopang pendirian’ kita tidaklah kuat dan rapuh.
Pemakaian bahasa yang tidak populer bagi orang yang jarang membaca novel sastra adalah salah satu kekurangan dari novel ini. Namun dari kekurangan tersebut membuat kita tertarik untuk membaca lebih dalam novel tersebut. Adanya protes blak-blakkan yang dilontarkan adalah sesuatu yang menurut saya kurang baik dalam penulisan sebuah karya sastra, tetapi dengan adanya protes blak-blakkan itulah jiwa dan nafas novel ini berkumpul.
Ayu Utami–sang penulis adalah seorang novelis dan kolumnis. Ia lahir di Bogor, 21 November 1968, besar di Jakarta, dan menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Novel pertamanya, Saman (KPG: 1998), mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus dan dianggap memberikan warna baru dalam sastra Indonesia, sehingga mendapatkan penghargaan novel terbaik Dewan Kesenian Jakarta. Novel-novel Ayu Utami yang lain : Larung (KPG: 2001), kumpulan esai Si Parasit Lajang (Gagas Media: 2003), naskah drama Sidang Susila (Spasi: 2008). Dan Bilangan Fu (KPG : 2008) adalah novel terbarunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar